Poster Film SORE dari pendekatan Visual Culture
Sumber gambar: casaindonesia.com
Film SORE garapan sutradara Yandy Laurens yang dirilis Juli 2025 ini telah menuai banyak respon positif dari penikmat film tanah air. Terlepas dari alur cerita filmnya, salah satu hal yang paling mencuri perhatian dari film SORE adalah poster filmnya, yang berlatar tangga berbentuk spiral yang unik dimana aktor Dion Wiyoko (sebagai Jonathan) dan aktris Sheila Dara (sebagai Sore) berpose sedang menaiki tangga tersebut. Uniknya, sosok ‘Sore’ yang diperankan oleh Sheila Dara tampak berjumlah jamak dan berdiri dari atas hingga ke dasar tangga. Tangga ikonik tersebut diketahui berada di Artotel Thamrin, Jakarta Pusat, yang dibangun oleh Aboday Architect. Sebagian netizen turut mengunggah foto di sosial media dengan mengikuti poster tersebut, dengan berpose di tangga melingkar tersebut. Fenomena menarik ini dapat disebut sebagai salah satu perwujudan budaya visual.
Dalam kehidupan sehari-hari, visual culture atau budaya visual adalah hal yang sering kita jumpai. Menurut Dikovistkaya (2017), budaya visual merupakan disiplin ilmu yang menempatkan citra visual sebagai pusat dalam proses penciptaan makna dalam konteks budaya. Secara historis, budaya visual merupakan bidang interdisipliner yang muncul pada akhir 1980-an, ketika disiplin ilmu seperti sejarah seni, antropologi, studi film, linguistik, dan sastra bertemu dengan kajian budaya (cultural studies). Dalam buku Practices of Looking karya Marita Sturken dan Lisa Cartwright (2001), dijelaskan bahwa objek visual sebenarnya tidak otomatis memiliki makna yang melekat, namun makna gambar tercipta melalui praktik sosial ketika objek tersebut dikonsumsi dan beredar di antara masyarakat. Lebih lanjut, Sturken dan Cartwright menegaskan bahwa pemaknaan dari objek visual merupakan inti utama dari studi budaya visual.
Ada empat aspek metodologi studi budaya visual menurut Bal (2003), yaitu:
- Fokus pada makna: bagaimana penonton menafsirkan gambar, makna yang sudah melekat pada gambar itu sendiri, dan konteks di mana gambar tersebut dilihat.
- Ketiadaan audiens nyata: studi budaya visual sering membahas “penonton” secara teoretis, bukan berdasarkan audiens nyata di lapangan.
- Ketidaknampakan kritikus: peneliti atau pengkritik biasanya tidak menampilkan dirinya secara langsung, melainkan membiarkan analisis berbicara.
- Pencarian kritik: usaha untuk memahami dan menjelaskan titik-titik pertemuan serta cara hubungan (junctures and articulations) dalam budaya visual, yaitu bagaimana berbagai makna dan representasi bertemu, berinteraksi, dan saling menghubungkan.
Studi budaya visual berpusat pada analisis praktik melihat dan representasi visual dalam berbagai ranah, dari seni, film, televisi, arsitektur, berita, media populer hingga dunia hiburan. Selain itu, studi budaya visual juga mencakup bidang hukum, sosial, agama, sains, kedokteran, informasi, dan pendidikan.
Dalam artikel ini, secara garis besar keunikan poster film SORE dari pendekatan budaya visual tampak dari 3 aspek utama, yaitu bentuk tangga yang spiral, sosok Sore yang berjumlah banyak dan skema warna yang lembut.
- Tangga Spiral
- Makna simbolis: tangga spiral menggambarkan perjalanan batin, siklus hidup, atau waktu yang berulang. Dalam konteks budaya visual, tangga spiral menandakan perjalanan yang tidak linear, penuh repetisi, dan berlapis, mirip dengan ingatan atau perasaan nostalgia yang datang berulang. Kesimpulannya, tangga spiral ini melambangkan perjalanan waktu yang berulang.
- Teori Gestalt dan persepsi visual: tangga yang berputar mengarahkan mata penonton ke pusat (prinsip continuation dan figure-ground) dan menimbulkan efek agar audiens serasa “ditarik” ke dalam ruang cerita dan mengalami labirin emosional dari karakter utama.
- Sosok Sore yang berjumlah banyak
- Makna simbolis: sosok Sore yang berjumlah jamak menandakan adanya repetisi, yang dapat dipahami sebagai fragmentasi diri (diri yang terbagi), atau momen-momen sore yang berulang setiap hari. Dalam budaya visual, penggandaan figur sering dipakai untuk melambangkan identitas ganda, atau refleksi diri. Kesimpulannya, sosok yang jamak ini merupakan repetisi kenangan dari sosok Sore.
- Teori Gestalt: pola pengulangan ini bekerja dengan prinsip similarity (kemiripan) dan proximity (kedekatan). Audiens akan mengelompokkan sosok-sosok Sore yang berjumlah banyak itu sebagai “satu kesatuan,” sehingga maknanya bukan hanya tentang satu individu Sore, melainkan pengalaman kolektif yang membentuk tokoh utama.
- Skema warna lembut
Skema warna poster yang lembut dalam film Sore dengan skema warna putih, gradasi abu-abu, krem (beige), cokelat dan sedikit sentuhan warna biru.
- Putih dan gradasi abu-abu: melambangkan kesederhanaan, transisi, dan ruang hening. Dalam budaya visual, putih memberikan kesan netral. Abu-abu memberi nuansa ambiguitas—tidak terang, tidak gelap—selaras dengan tema “Sore” sebagai peralihan siang menuju malam.
- Krem (beige) dan cokelat: krem memberikan kesan nyaman, sederhana dan tenang, sementara cokelat menghadirkan kesan hangat, membumi, dan natural. Secara kultural, cokelat sering diasosiasikan dengan nostalgia, kenangan, atau keintiman. Krem adalah warna yang menyerupai cahaya sore menjelang malam, sehingga cocok jika film Sore berhubungan dengan perjalanan waktu, momen kecil, atau perasaan sentimental. Warna ini menekankan sisi emosional film yang berhubungan dengan kenangan pribadi.
- Biru: memberikan nuansa tenang, kontemplatif, dan melankolis. Dalam budaya visual, biru merepresentasikan kedalaman dan ketenangan.
Warna lembut yang natural natural menciptakan kesan “alami” dan dekat dengan manusia, sehingga penonton bisa merasa lebih relevan dengan film ini. Kombinasi ini membangun mood transisi: dari hangat ke dingin, dari nyata ke reflektif, sejalan dengan simbolisme tangga spiral dan sosok ganda di posternya. Dari sisi visual culture, skema ini merefleksikan kerinduan akan momen keseharian (sore atau senja sebagai pengalaman universal bagi manusia) sekaligus menghadirkan ruang tafsir emosional yang personal bagi setiap audiens. Jadi, skema warna lembut yang digunakan dalam poster Sore bukan sekadar didasari alasan estetika, melainkan bahasa visual yang mengkomunikasikan kenangan, transisi waktu, dan rasa melankolis yang dapat dikenali lintas budaya.
Budaya visual tidak sekadar mempelajari gambar atau media, tetapi lebih jauh lagi, budaya visual meneliti bagaimana makna diciptakan, disirkulasikan, dan diinterpretasikan dalam masyarakat. Hal ini yang menjadikannya bidang penting bagi kajian komunikasi, desain, dan media di era digital. Melalui analisa poster film SORE dari pendekatan budaya visual, dapat disimpulkan poster SORE ini tidak menjelaskan narasi cerita secara literal, tapi menciptakan sense of mystery yang sentimental sekaligus merupakan strategi efektif untuk film dengan genre sains fiksi romantis.
Referensi:
Bal, M. (2003). Visual essentialism and the object of visual culture. Journal of Visual Culture, 2(1), 5–32. https://doi.org/10.1177/147041290300200101
Dikovistkaya, M. (2017). Major theoretical frameworks in visual culture. In I. Heywood & B. Sandywell (Eds.), The handbook of visual culture. Bloomsbury.
Sturken, M., & Cartwright, L. (2001). Practices of looking: An introduction to visual culture. Oxford University Press.
Casa Indonesia. (2025, August 21). Melirik keindahan tangga ikonik di poster film Sore. https://casaindonesia.com/article/read/7/2025/8155/melirik-keindahan-tangga-ikonik-di-poster-film-sore
Color Meanings. (2025, August 21). Arti Warna Beige: Simbolisme Kesederhanaan, Kenyamanan, Ketenangan, dan Modernisme. https://www.color-meanings.com/beige-color-meaning-the-color-beige/
Comments :