Kalian pernah nggak sih lihat anak kecil bisa diem lama banget kalau dikasih Handphone, tapi kalau disuruh duduk dan fokus untuk mengerjakan tugas sekolah sebentar aja langsung gelisah?  Sebenernya otak anak itu berubah ngga sih kalau terlalu sering nonton video pendek kayak TikTok atau YouTube Kids? 

Pertanyaan itu bisa dijawab sama cognitive developmentCognitive development adalah bagaimana proses berpikir otak yang dipakai untuk pemahaman, pengetahuan, penalaran. Dalam mata kuliah psikologi perkembangan, menurut Vygotsky kemampuan kognitif adalah kemampuan kita dalam memecahkan masalah, memudahkan kita dalam mengambil tindakan, dan memperluas kemampuan kita. Lalu kognitif itu terletak dibagian otak mana? Banyak. Perkembangan kognitif terjadi menyebar, tidak berpusat satu bagian saja. Salah satunya di prefrontal cortex. Orkestra prefrontal cortex di otak di ibaratkan sebagai dirigen, dimana tugasnya untuk mengatur cara kerja bagian otak kita yang memanage dari recall memori nyambung dengan bagian otak yang mengatur emosi, mengatur impuls, dan lainnya. 

 

Media Lama vs Media Baru: Cara Otak Merespon 

Dulu pada tahun 19an tontonan di TV itu teratur banget, pakai skrip, ada yang ngatur seperti sutradara dan produser, dan durasinya lama, biasanya antara 30 menit sampai 1 jam. Tapi sekarang, media yang kita tonton biasanya pendek-pendek, paling lama 10 menit di TikTok, terus kalau ga suka tinggal geser ke video lain. Ini ternyata berpengaruh ke cara kinerja otak anak merespon. Di masa kecil, otak anak lagi berkembang cepat. Kita pasti sering dengar “waktu fokus anak itu sebentar.” Nah, karena tontonan sekarang pendek-pendek banget, ini bikin anak jadi susah belajar buat fokus lama. Media baru kayak gitu bikin perhatian anak gampang lompat-lompat dan bergerak cepat. Ini juga ada hubungannya sama cara berpikir yang namanya bottom-up dan top-down. Kalau nonton TV, otak bagian bawah aktif, karena kita cuma nerima gambar, suara, atau warna tanpa mikir banyak. Tapi sekarang beda. Kalau buka TikTok atau YouTube, kita yang pilih video apa, kapan lanjut, kapan skip, jadi otak bagian atas yang aktif, mikir dan buat keputusan cepat. Sekilas ini terlihat bagus karena otak kita jadi aktif. Tapi sebenarnya, anak jadi gampang bosan, susah fokus lama, dan terus cari hal yang seru secara cepat. Di TikTok, kita juga gak tahu video berikutnya bakal seperti apa, dan perubahan emosi di setiap video itu sebenarnya kurang baik buat anak. 

 

Supaya lebih spesifik kita bahas menjadi 3 bagian: 

Infants and Toddlers (Ages 0–3) 

Ada ibu rumah tangga (IRT) yang dulu nya bekerja menjadi guru bahasa Inggris. Dia iseng bikin video yang isinya boneka dan mainan dengan latar musik klasik. Tujuan awalnya cuma ingin mengenalkan seni ke anaknya. Ternyata videonya menjadi viral dan bahkan dibeli sama Disney dengan label “video edukatif.” Videonya dikenal dengan judul Baby Einstein. Banyak ibu-ibu yang kasih tontonan video tersebut ke anak-anak mereka karena berharap anaknya bisa belajar dari video itu. Penelitian menunjukkan kalau bayi usia 8–18 bulan menonton video terlalu lama, misalnya satu jam setiap hari, itu justru membuat kemampuan bahasa mereka jadi lebih lambat berkembang. Dampaknya lebih terasa pada bayi yang masih sangat kecil. Jadi, bukan berarti bayi belajar bahasa lebih cepat lewat video, malah sebaliknya, mereka jadi tertinggal dalam perkembangan bahasa. 

Kenapa bisa begitu? 

Pertama, bayi dan balita walaupun bisa ngerti isi video, mereka belum bisa menghubungkan apa yang mereka lihat di layar dengan dunia nyata. Artinya, walaupun mereka tertawa atau menunjukkan ekspresi saat menonton, itu belum tentu berarti mereka benar-benar paham atau belajar dari video itu. Misalnya, di video muncul gambar kuda, gajah, atau bola, tapi kalau di dunia nyata ditunjukkan kuda, gajah, atau bola yang asli, anak belum tahu kalau itu sama dengan yang mereka lihat di video. Karena bagian otak yang namanya prefrontal cortex pada anak usia kecil ini belum matang. Karena otaknya belum matang, anak jadi sulit mengontrol perhatian, ingat sesuatu dengan baik, dan belum bisa berpikir abstrak atau menggunakan simbol dengan baik. Kedua, Karena waktu yang dihabiskan untuk nonton video adalah waktu dimana mereka sebenernya bisa belajar secara nyata untuk perkembangan kognitif mereka, surveynya anak-anak yang menonton video menghabiskan waktu 3 jam perhari, itu lumayan banget kan sebenernya. 

American Academy of Pediatrics (AAP) bahkan menyarankan supaya anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya tidak diberikan tontonan sama sekali. Jadi, sebaiknya 0 jam nonton video per hari untuk anak usia segitu. 

 The Impact of Background Media 

Kalau di ruang keluarga TV-nya nyala terus walaupun anaknya nggak nonton dan cuma main mainan, suara dan gambar dari TV itu tetap bisa mengganggu anak. Ini bisa membuat anak jadi susah belajar mengontrol diri dan fokus memperhatikan sesuatu karena otak mereka terus terganggu oleh suara dan gambar yang datang dari TV. Jadi, meskipun anak main mainan nyata, lingkungan sekitar yang ada TV nyala tetap berpengaruh buruk untuk perkembangan perhatian dan kontrol diri anak usia dini. TV selain memperlihatkan gambar (visual), juga mengeluarkan suara (auditory). Ketika TV menampilkan gambar atau suara yang baru dan mencolok, itu bisa mengalihkan perhatian anak. Anak jadi sering melirik TV sehingga fokusnya pada mainan atau kegiatan yang sedang dilakukan jadi terganggu. Ini disebut orienting response, yaitu reaksi otak anak yang otomatis tertarik sama hal baru yang muncul, sehingga anak sulit konsentrasi penuh pada satu hal. Jadi, meskipun anak mainan nyata, suara dan gambar dari TV bisa membuat anak susah fokus dan susah belajar mengontrol diri. 

Secara keseluruhan, TV punya dampak positif dan negatif untuk anak. Dampak positifnya bisa meningkatkan imajinasi, bahasa, dan kreativitas anak. Tapi kalau terlalu sering atau tanpa pengawasan, TV bisa bikin anak mudah terganggu, susah fokus, dan kurang bisa mengontrol diri. 

 

The New Wonder Years (Ages 3–5) 

Anak-anak usia dini, terutama balita, diperbolehkan mendapatkan screen time maksimal 1 jam per hari. Contohnya, penulis buku “Rewired,” Dr. Carl, memberi iPad ke anaknya selama 1 jam sehari. Namun, saat waktu itu habis dan iPad diambil, anaknya sering mengalami tantrum atau marah-marah. Awalnya dianggap kebetulan atau karena anak sedang bad mood, tapi hal ini terus terjadi terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa anak bisa menjadi sangat tergantung dan sulit lepas dari penggunaan perangkat layar walau dalam waktu yang sudah dibatasi. Rekomendasi dari para ahli, termasuk American Academy of Pediatrics (AAP), ialah membatasi screen time terutama untuk anak di bawah 2 tahun sebaiknya 0 jam, kecuali untuk video call. Untuk anak usia 2-5 tahun maksimal 1 jam dengan pengawasan dan konten yang edukatif. Screen time yang berlebihan atau tanpa pengawasan dapat membuat anak jadi sulit mengontrol diri, mudah terganggu, dan susah fokus. 

Pada usia tiga tahun, otak anak berkembang secara pesat, terutama dalam kemampuan bahasa dan kesadaran diri. Anak mulai lebih bersemangat dan penasaran untuk mengeksplorasi dunia sekitar mereka. Otak anak di usia ini mengatur tiga kemampuan penting yang dikendalikan oleh prefrontal cortex, yaitu: kemampuan untuk mengingat hal yang penting (memori kerja), kemampuan untuk fokus dan berpindah tugas dengan mudah, serta kemampuan menahan diri dari gangguan. Jadi, pada usia tiga tahun, anak mulai bisa mengatur pikiran, bicara, dan perilaku mereka dengan lebih baik dan fleksibel dibandingkan sebelumnya. 

Namun, ketika anak sering menonton video yang cepat berganti gambar, suara keras, dan gerakan terus-menerus, otak mereka terus terstimulasi tanpa jeda. Akibatnya, ketika anak ingin beralih ke aktivitas yang lebih tenang seperti bermain atau berbicara langsung, mereka kesulitan menyesuaikan diri. Anak jadi bingung dan sulit mengatur peralihan dari tontonan yang penuh rangsangan ke hal yang lebih santai. Saat orang tua mencoba menghentikan tontonan itu, anak yang sudah terbiasa dengan stimulasi konstan dari media ini bisa jadi marah atau tantrum karena kesulitan mengendalikan emosi dan adaptasi perubahan tersebut. Jadi, paparan media yang berlebihan membuat anak susah untuk rileks dan fokus pada hal lain yang lebih tenang. 

Secara keseluruhan, paparan media yang berlebihan pada anak usia dini dapat mengganggu perkembangan kognitif, kreativitas, kontrol diri, kesehatan mentalnya, kesulitan mengatur emosi, dan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Oleh karena itu, pembatasan waktu menonton dan pengawasan orang tua sangat penting agar anak tetap bisa belajar dan berkembang secara optimal. Akibatnya, saat kegiatan yang menarik perhatian mereka dihentikan, anak mudah merasa frustrasi atau marah. Media yang penuh rangsangan cepat dan suara keras bisa membuat anak sulit rileks atau fokus pada hal yang lebih tenang. Ini bisa memicu reaksi emosional yang berlebihan seperti tantrum. Jadi, terlalu banyak menonton atau terpapar media bisa mengganggu perkembangan kontrol diri dan keseimbangan emosi anak. 

 

Katanya, Aplikasi Edukatif 

Coba deh kalian pihatikan baik-baik. Media yang sering dipakai di usia – usia ini. Misalnya Aplikasi Abjad,  mengenal tata surya, atau Nusa dan rara, dan masih banyak banget yang dibilang sebutan “edukatif”. Tapi sebelumnya, nggak ada informasi penelitian yang beneran buktiin kalau media itu didukung oleh aspek-aspek perkembangan anak saat ini. Contohnya, mendorong anaknya buat cerita bareng orang tua (interaksi sama caregiver) yang menonjolkan biasanya warna-warni heboh, dar-der-dor, biar anak menjadi tertarik. Ada fitur Autoplay juga, supaya anak gak berhenti nonton, Ini  hanya sekedar bisnis toh!. Ini beneran serius tau. 

The Intuitive Thought Substage 

Mulai beranjak usia 4 tahun, Anak – anak itu banyak banget pertanyaan di kepalanya. Mereka suka nanya – nanya  mengenai caregiver-nya. Nah, kalau anak suka belajar baca atau bernalar, misalnya dengerin cerita di Youtube, atau belajar baca di aplikasi, ini justru malah kurang kualitas belajar mereka. Nggak adanya interaksi anak, membuat jadinya pasif banget. Mamanya kalau mau pakai media online untuk belajar, orang tuanya harus dampingi. Jawab pertanyaan anak dengan aktif, biar mereka bisa nanya – nanya serta belajar bareng.  

Jadi, Anak usia ini nggak dapet manfaat apa apa di tayangan video meski dibilang, “video edukatif”. Tapi American Academy of Pediatrics (AAP), ngasihin pengecualian: anak boleh screen time buat video call atau zoom, kenapa?, Karena di situ ada hubungan timbal-balik, komunikasi secara langsung. Walaupun kualitasnya nggak sama kayak ngobrol seperti face –  to – face. Jadi iya, media online itu cuma alat. Orang tua harus interaktif ngelupain TV (Televisi) atau Media online, biar ngebantu anak ngembangin citra mental juga. Kita sebagai orang tua harus aktif, ya! 

 

The Rise of Media Multitasking (Ages 5–12) 

Di usia ini, anak-anak udah masuk sekolah, dari Tk ke SD. Screen time ngebantu mereka kembangin tugas-tugas sekolah dan aspek lain dari fungsi eksekutif otak. Beberapa studi pakai pemindahan otak (neuroimaging) buat liat perbedaan aktivitas dan konektivitas antar bagian otak yang terlibat dalam perhatian dan pengambilan keputusan. Hasilnya?, Multitasking media yang berlebihan berkaitan sama kemampuan  perhatian yang lebih rendah, kontrol implus yang jelek, dan kesulitan buat fokus di tugas – tugas anak – anak yang sering multitasking media gampang terdistraksi, susah nyaring informasi yang nggak relevan, dan sering kewalahan di lingkungan belajar yang kompleks. Kita harus hati- hati, biar nggak bikin anak susah fokus di sekolah. 

Jadi, Dampak media terhadap perkembangan kognitif anak tergantung pada usia anak dan jenis media konten. Media harus dianggap sebagai pendamping, bukan pengganti proses belajar anak. Dengan pengawasan dan pemilihan konten yang tepat, media bisa membantu merangsang perhatian, kreativitas, dan kemampuan kognitif anak. Namun, penggunaan media yang berlebihan tanpa pendampingan orang tua bisa memberikan efek negatif, seperti menurunnya kemampuan fokus dan kontrol diri. Jadi, media harus digunakan dengan bijak dan selalu didampingi agar mendukung perkembangan anak secara optimal. 

Sumber utama: 

John W. Santrock. (2013). Life-Span Development. 14. McGraw Hill. New York. ISBN: 9780071318686. 

Marci, C. D. (2022). Rewired: Protecting your brain in the digital age. Harvard Business Review Press. 

 

 

Penulis:

Jihan Faridatul Azkia/2710010594 

Intan Noor Habibah Haryono/2810011244 

Manuelia Oktavina Sitohang/2810011710