Takut Dinilai: Prespektif Neurosains Sensitivitas Evaluasi Sosial Usia Remaja dan Dewasa Awal
Kenapa di usia ini kita sibuk banget mikirin “apa kata orang”? Kalau ingin memulai sesuatu, lebih sibuk mikirin gimana opini orang lain daripada ngambil tindakan untuk mulai. Akhirnya, semua rencana, keinginan, cuma sebatas pikiran. Kalau nonton video motivasi yang ditujukan untuk orang usia ini juga, pasti isinya “jangan takut di-judge”, sampai akhirnya penulis sadar, masalah ini bukan untuk sebagian individu, tapi masalah internasional remaja sampai dewasa awal.
Kalau gitu, pasti ada dasarnya, kan?. Dilansir dari jurnal “The Teenage Brain: Sensitivity to Social Evaluation” (Somerville et al. 2013). Ada tiga ciri yang bisa menggambarkan kondisi ini, yaitu
- Vigilance to Social Evaluation: Kewaspadaan terhadap evaluasi sosial, artinya remaja sangat peka atau sensitif terhadap penilaian sosial. Hal ini dikarenakan pada usia remaja area otak yang disebut dengan korteks prefontal media (mPFC) yaitu bagian otak yang terlibat dalam refleksi diri, memori dan pemrosesan emosi sedang berkembang pesat. Dr. Leah Somerville dan rekan-rekannya di Universitas Harvard melakukan sebuah penelitian menemukan bahwa masa kanak-kanak hingga remaja, mPFC menjadi lebih aktif dalam situasi sosial. Pada masa ini, situasi sosial banyak memberikan beban emosional yang mengakibatkan respons stres dengan intensitas tinggi. Artinya, pada masa remaja, memikirkan diri sendiri yang disebut “self-evaluation” terhadap evaluasi sosial sangat dominan.Penelitiannya yaitu eksperimen yang subjeknya adalah orang dewasa dan remaja. Mereka diminta duduk di depan etalase toko yang di luarnya lalu lalang orang. Hasil eksperimennya adalah remaja memunculkan tanda tanda kecemasan seperti keringat dingin, sedangkan orang dewasa tuh enggak (Somerville et al. 2013).
- Developmental Properties of Socioaffective Circuitry & Emotional Processing in the Social Context. Socioaffective circuitry yang sangat aktif, yakni pemrosesan evaluasi sebuah situasi dari makna emosionalnya, mungkin kamu pernah dihadapkan posisi memalukan seperti jatuh karena keseleo di depan banyak orang, daripada fokus pada kalimat apa yang dikatakan orang, kamu cenderung fokus pada ekspresi wajah apa yang mereka tampilkan atau intonasi yang mereka gunakan. Pemrosesan ini melibatkan otak bagian amygdala, stritarium (bagian otak yang mendukung penilaian emosional) dan medial prefrontal cortex (mPFC) sedang berkembang pesat, disisi lain wilayah prefrontal bagian regulasi belum matang secara sempurna. Sehingga remaja menggunakan socioaffective (menilai situasi dari sisi emosional) secara aktif dibandingkan usia lain. Hal ini membuat kita cenderung mendeteksi informasi implisit dari respon lingkungan, dan cenderung menempatkan nilai penerimaan dan penolakan pada lingkungan sosial, lalu menjadikan itu sebagai pedoman kita dalam berperilaku.
- Thinking About the Thoughts of Others: memikirkan apa yang orang lain pikirkan. Kecenderungan untuk berspekulasi tentang pikiran dan asumsi orang lain terhadap diri kita. Hmmm, pernah gak ketika ingin tidur keinget kejadian memalukan pada siang hari, terus menerus berpikir ‘’apa ya yang mereka pikirin tadi?’’; ‘’Duhh, harga diri aku ancur banget’’ atau ketika merencanakan melakukan sesuatu, kepikiran “kalau aku ngelakuin ini, diomongin ga ya? Mereka nganggap aku alay ga ya?”. Kecenderungan ini melibatkan bagian otak yang sudah penulis jelaskan di awal. Kepekaan sosial ini puncaknya di masa remaja usia lima belas tahun dan cenderung mereda di usia 25 tahun. Jadi, wajar banget orang orang yang ada pada rentang usia itu selalu mikirin apa kata orang secara intens. Tapi, walaupun memang ada dasarnya, kita juga bisa mengendalikannya, kok. Kita bisa tetap melakukan apa yang kita inginkan walaupun kepekaan sosial kita terlampau aktif. Dilansir dari verrywellmind, cara mengatasi rasa cemas dan menantang pikiran negatif karena evaluasi sosial adalah dengan CBT, salah satu caranya yaitu emotional reasoning, kalau kita cemas dan takut akan opini orang lain, sadari itu hanya emosi kita, kan? Ketika persepsimu bilang kamu akan di-gossip-in, dijelekin karena melakukan ini dan itu, maka emosimu pun jadi sedih, inferior, takut, akhirnya low motivation. Kamu mulai percaya emosi itu sebagai sebuah fakta atau bukti memang orang orang pasti akan nge-gossip-in kamu. Sadari bahwa emosi itu bukan fakta realitas. Ga ada yang benar benar menghakimi, nge-gossip-in kamu, tapi kamu yang mengatakan ke dirimu sendiri bahwa mereka akan melakukan itu.
Gimana kalo kita fokus aja dengan apa yang ingin atau sedang dilakukan, bukan fokus pada opini publik. Pikirkan tujuan dan alasan kamu melakukan itu apa? Kalau kita ga mulai sekarang hanya karena takut opini orang lain, yakinkah ga akan menyesal suatu saat nanti?
Referensi :
- Burns, D. D. (2009). Feeling good: The new mood therapy (Revised ed., pp. 38–49). Harper.
- Cuncic, A. (2013, July 30). Fear of being the center of attention. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/center-of-attention-fear-3024831
- Eagleman, D. (2015). The brain: The story of you. Pantheon Books.
- Grossmann, T. (2013). The role of medial prefrontal cortex in early social cognition. Frontiers in Human
- Somerville, L. H. (2013). The teenage brain: Sensitivity to social evaluation. Current Directions in Psychological Science, 22(2), 121–127. https://doi.org/10.1177/0963721413476512
Comments :