Pernah merasa bingung tentang masa depan, tidak yakin dengan pilihan karier, atau cemas karena merasa tertinggal dibanding teman-teman yang “sudah lebih dulu berhasil”? Jika iya, kemungkinan besar kamu sedang mengalami fase quarter-life crisis.  

Fenomena ini umum terjadi pada kelompok usia 20-35 tahun, yang dikenal sebagai emerging adulthood atau dewasa awal. Pada masa ini, kita sedang berada di titik transisi antara remaja dan dewasa. Banyak hal yang harus dijelajahi, mulai dari identitas diri, pilihan karier, hingga hubungan sosial. Jadi, kebingungan dan ketidakpastian yang muncul sebenarnya adalah hal yang wajar dalam proses menemukan arah hidup.  

Menurut Erik Erikson, dewasa awal termasuk tahap “intimacy vs isolation”. Pada fase ini, individu dituntut untuk membangun hubungan yang dekat, baik secara romantis maupun sosial serta menjalani peran dalam pekerjaan dengan komitmen. Jika gagal membentuk hubungan yang bermakna, seseorang bisa mengalami isolasi sosial, kesepian, dan perasaan terasing.  

Pada kenyataannya, dewasa awal memang penuh ketidakpastian. Banyak tekanan yang muncul, seperti mencari pekerjaan tetap, menjalin hubungan serius, hingga membangun kemandirian finansial. Tekanan “aku harus tahu mau jadi apa sekarang” sering membuat kita merasa tertinggal atau kurang berhasil dibanding teman sebaya.  

Jadi berada di usia 20-an memang terkadang bakalan kacau. Kita bingung, panik, dan terlalu banyak memikirkan segala hal tentang hidup. Banyak orang merasa hidup mereka belum “beres”, meskipun tekanan terus menumpuk. Semua ini disebut krisis seperempat abad. 

Untuk memahami mengapa hal ini sering terjadi, ada istilah “emerging adulthood” dari Arnett (2000). Istilah ini membahas fase peralihan yang aneh di mana tidak ada yang terasa stabil. Kita punya banyak pilihan, tetapi juga banyak harapan. 

Rasanya seperti terjebak dalam transisi ini, mencoba mencari tahu apa yang akan terjadi selanjutnya sementara semuanya terasa tidak pasti. Masuk akal mengapa banyak orang panik selama masa ini.  

 

Nah, beberapa hal utama yang berkaitan langsung dengan quarter-life crisis menurut Arnett antara lain: 

 

  1. Eksplorasi Identitas (Identity Exploration) – Di usia 20-an, orang lagi rajin-rajinnya cari tahu: “Gue ini sebenernya mau jadi apa sih?” atau “Nilai hidup gue apa?”. Proses mikir ini sering bikin overthinking.
    Contohnya aja kayak Fresh graduate yang tiba-tiba ngerasa jurusan kuliahnya “nggak gue banget”, akhirnya nyobain banyak kerjaan atau ikut bootcamp buat cari jalan lain. 
  2. Ketidakstabilan Hidup (Instability) – Kerjaan pindah-pindah, tempat tinggal nggak tetap, relationship naik turun — semua bikin hidup kerasa kayak “lagi loading terus”.
    Ya misalkan ada anak muda yang tahun ini udah tiga kali ganti kerja karena belum nemu yang pas, jadi ngerasa hidupnya chaos.  
  3. Merasa “Di Antara” (Feeling In-Between) – Udah nggak remaja, tapi juga belum ngerasa “dewasa beneran”. Jadinya apa dong? Bingung, insecure, dan ngerasa belum siap sama tuntutan. orang-orang.
    Misalnya aja kalau dikasih pertanyaan “kapan nikah?” atau “kerja di mana sekarang?” langsung bikin mereka mikir, “gue sendiri aja belum yakin.”
  4. Tekanan Menuju Kemandirian (Striving for Independence) – Tuntutan buat mandiri finansial dan emosional itu real banget. Kadang bikin cemas soal masa depan.
    Kayak misalnya kita baru lulus, belum ada kerjaan tetap, tapi udah harus bisa bantu ekonomi keluarga — Yang ada malah stresnya jadi double.
  5. Ketidakpastian Arah Hidup (Uncertainty and Exploration of Possibilities) – Pilihan hidup makin banyak, tapi justru bikin makin pusing — takut salah pilih, takut nyesel, takut ini, takut itu.
    Contohnya aja kayak ngegalau-in mau lanjut S2, kerja ke luar negeri, atau buka bisnis sendiri, karena semuanya punya risiko.
  6. Eksperimen dalam Hubungan dan Cinta (Romantic Exploration) – Cari pasangan yang cocok atau gagal dalam hubungan sering bikin mental goyah dan ngerasa “kenapa cinta ribet banget sih?”.
    Sampai misalnya udah beberapa kali gagal pacaran, terus jadi kepikiran “gue susah dicintai ya?” atau “gue siap komitmen nggak sih sebenernya?”
  7. Optimisme dan Harapan (Possibilities/Optimism) – Walau penuh drama dan krisis, anak 20-an tetap punya vibe: “Gue bisa kok nge-restart hidup.” Optimisme ini justru yang bikin mereka bisa bangkit.
    Contohnya tuh pas misalnya abis gagal di pekerjaan pertama, malah mutusin buat mulai usaha kecil sesuai sama passionnya dan yakin kegagalan nya itu sebenernya stepping stone. 

Ketika mengalami quarter-life crisis, kamu akan mempertanyakan diri kamu sendiri (ragu), kurang percaya diri, merasa tidak berdaya, memiliki emosi yang tidak stabil, takut mengalami kegagalan, stres, dan merasa diasingkan oleh lingkungan. Kamu yang mengalami quarter-life crisis juga bisa merasa cemas karena kegagalan yang mungkin terjadi di masa depan, Selain itu, dalam merespon krisis yang sedang dialami, kamu bisa saja memilih untuk berhenti  dari pekerjaan, menunda keputusan karir, bahkan ada yang sampai mengalami depresi atau mengembangkan gangguan kecemasan loh(Pamungkas & Hendrastomo, 2024).   

Jadi, apa yang harus dilakukan agar kamu bisa melalui masa quarter-life crisis ini? Ada beberapa cara atau strategi yang efektif nih yang bisa bantu kamu melewati masa krisis ini. 

  1. Penguatan Diri & Refleksi Personal. Kadang, cara terbaik buat nguatin diri itu ya menyendiri dulu.
    Pas emosi lagi naik-turun, ngambil waktu buat diri sendiri bisa bantu kamu untuk introspeksi, nenangin kepala, dan ngerti apa yang sebenarnya kamu rasain. Momen “me time” ini juga bantu kamu mikir ulang arah hidup dan nemuin makna dari pengalaman yang lagi kamu jalanin. 
  2. Penguatan Religiusitas & Spiritualitas. Religiusitas sering jadi cara paling ampuh buat dapetin ketenangan batin. Lewat ibadah dan doa, banyak orang merasa lebih kuat menghadapi stres dan lebih mudah bersyukur. Melati (2024) dalam jurnal Quarter Life Crisis: Apa Penyebab dan Solusinya Dilihat dari Perspektif Psikologi? bilang kalau religiusitas yang sehat terbukti bisa ningkatin kesehatan mental positif, dan itu bisa jadi “tameng” yang kuat banget pas seseorang lagi ada di fase krisis hidup. 
  3. Dukungan Sosial & Lingkungan. Support system itu penting banget. Berinteraksi, main bareng, atau sekadar curhat sama orang yang kamu percaya bisa bantu ngurangin rasa tertekan dan bikin semangat balik lagi. Pas kamu lagi pusing sama hidup, cerita ke orang lain bisa bikin kamu dapat perspektif baru dan lihat masalahmu dari sudut pandang yang lebih jernih. Keluarga juga punya peran besar karena mereka adalah pendukung emosional dan sosial utama yang bisa bantu menurunkan intensitas quarter-life crisis yang kamu rasain. 
  4. Pengembangan Diri & Adaptasi. Fokus ke diri sendiri, ngembangin potensi, dan ningkatin kualitas diri juga penting banget.
    Dengan ngembangin kemampuan adaptif dan belajar nerima ketidakpastian, kamu bakal nggak gampang cemas sama masa depan yang masih abu-abu. Intinya sih upgrade diri biar lebih tahan banting menghadapi ekspektasi sosial dan tekanan hidup. 
  5. Penggunaan Media Sosial yang Sehat. Media sosial adalah salah satu faktor eksternal paling kuat yang bikin quarter life crisis makin parah. Soalnya, yang sering kita lihat di sana cuma “best version” orang lain. Akhirnya, kita jadi banding-bandingin diri sendiri, overthinking, bahkan FOMO. Makanya, penting buat batasi waktu scroll, filter konten yang kamu konsumsi, dan hati-hati sama apa yang kamu percaya. Soalnya, kalau kamu bijak dalam pakai media sosial, konten yang positif justru bisa bikin kamu termotivasi jadi pribadi yang lebih baik dan bantu kamu lewat fase quarter-life crisis ini dengan lebih kuat. 

Kesimpulannya, Quarter-life crisis bukan tanda kegagalan, tapi bagian alami dari perjalanan dewasa awal. Perasaan bingung, cemas, atau tertinggal adalah sinyal bahwa kita sedang mengeksplorasi diri, mencari arah, dan menyesuaikan hidup dengan nilai-nilai pribadi. Penting banget untuk kita buat memberi ruang bagi diri sendiri, fokus pada proses, dan tidak membandingkan perjalanan kita dengan orang lain. Menghadapi fase ini dengan kesadaran dan refleksi bisa membantu kita tumbuh menjadi individu yang lebih matang dan percaya diri.  

Penulis:
Faith Esperanza Ai Tanauma | 2710010354 

Faradila Alifya | 2810011231 

Larasati Maulana Yusuff | 2710010202 

Azis Abdul Rohim | 2810010954

DAFTAR PUSTAKA 

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American Psychologist, 55(5), 469–480. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.5.469 

Melati, I. S. (2024). Quarter life crisis: Apa penyebab dan solusinya dilihat dari perspektif psikologi? INNER: Journal of Psychological Research, 4(1), 52–57. https://aksiologi.org/index.php/inner 

Nugsria, A. (2023). Quarter life crisis pada dewasa awal: Bagaimana peranan kecerdasan emosi? INNER: Journal of Psychological Research, 3(1), 1-10.  

Pamungkas, P. R., & Hendrastomo, G. (2024). Quarter life crisis di kalangan mahasiswa. Asean International Journal of Research in Science and Humanities (AIJRS), 4(1), 174–190. Universitas Negeri Yogyakarta. 

Vayla Mahira. (2024). Quarter-life crisis pada dewasa muda dalam perspektif teori Erikson Intimacy vs Isolation. Kompasiana.