Antara Aku dan Angka: Kisah di Balik Juara OKASN dan KSPI
Wah dari judul artikel nya seperti menjadi pertanyaannya ya, apa yang ada dibalik Aku dan Angka ini. Sebelumnya, perkenalkan nama saya Azis Abdul Rohim, mahasiswa Psikologi di SATU University, angkatan B28. Mungkin terdengar janggal saat saya menyebut bahwa dua kejuaraan nasional yang baru saja saya menangkan yaitu OKASN (Olimpiade Akademik Siswa Nasional) dan KSPI (Kejuaraan Sains Pelajar Indonesia) ini berasal dari bidang Matematika. Bukan Psikologi, bukan debat, melainkan Matematika.
Namun, cerita ini bukan tentang kontradiksi. Ini justru tentang konsistensi, bahwa hal-hal yang kita cintai sejak lama, sekecil apa pun, akan selalu menemukan jalannya untuk kembali menyapa kita, ketika kita bersedia menjawabnya. Saya tumbuh dengan angka-angka, rumus, dan kebiasaan menyelesaikan soal di waktu senggang. Matematika bagi saya tidak pernah sekadar hitungan. Ia adalah seni logika. Kadang seperti teka-teki, kadang seperti meditasi. Dan meski kini saya berkecimpung dalam dunia Psikologi, keterampilan berpikir sistematis dan presisi yang dibentuk oleh Matematika tetap menjadi alat utama dalam memahami manusia.
Maka ketika kesempatan mengikuti OKASN dan KSPI datang, dua ajang nasional yang mempertemukan ratusan mahasiswa dari berbagai daerah, saya menganggapnya bukan hanya tantangan, tapi juga ajakan nostalgia. Kedua lomba ini berlangsung secara daring dan bersifat individu. Tidak ada suasana kompetisi meriah, tidak ada sorak penonton. Hanya saya, gawai, kertas coret-coret, dan waktu yang terus berdetak. Persiapan saya lakukan diam-diam. Di tengah jadwal kuliah, saya menyisihkan malam-malam untuk mengulang teori dasar, menyelesaikan soal-soal sulit, bahkan sesekali membuka kembali catatan SMA yang sudah mulai menguning. Saya tidak punya mentor khusus atau pelatihan intensif, lebih daripada itu saya malah menjadi seorang tutor bagi siswa SD, SMP, dan SMA.
Saat hari lomba tiba, saya merasa hening sekali. Mungkin karena semuanya berlangsung virtual, atau karena saya tahu tidak ada yang akan melihat saya gagal kalau pun gagal. Tapi justru dari ruang hening itu, saya menemukan ketenangan yang aneh, bahwa tidak ada yang perlu dibuktikan kepada siapa pun, selain kepada diri saya sendiri.
Soal-soalnya menantang, yang tidak sedikit membuat saya berhenti, menarik napas dalam, lalu mencoba melihatnya dari sudut yang berbeda. Rasanya seperti berdialog dengan logika. Setiap kali saya berhasil menembus satu soal sulit, rasanya seperti menyelesaikan konflik batin kecil.
Beberapa hari kemudian, pengumuman pemenang keluar. Saya sedang duduk di koridor kampus sembari memakan camilan, membuka aplikasi lomba sekadar untuk tahu siapa yang berhasil. Lalu nama saya muncul di deretan peraih medali emas. Yang menandakan bahwa saya adalah Gold Medalist dari dua lomba berbeda.
Semua kemenangan, sekecil apa pun, selalu datang dari proses yang sunyi. Apa sih yang saya pelajari dari pengalaman ini? Yaitu bahwa kita tidak pernah sepenuhnya “pindah jalur” dari apa yang kita sukai. Kita hanya mengambil jalan memutar, lalu kembali dengan versi diri yang lebih dewasa. Dan yang paling penting adalah kita tidak harus selalu menjadi “ahli” dalam suatu bidang untuk mengukir prestasi di dalamnya. Cinta yang tulus pada satu bidang, jika dipelihara dengan disiplin dan keinginan belajar, bisa mengantarkan kita ke tempat-tempat yang tak terduga.
Azis Abdul Rohim / 2810010954

Comments :