Siapa yang disini pernah dengar orang lain bilang atau menyuruh kita untuk, “Eh harusnya kamu itu bersyukur tau.” atau “Segitu juga harusnya udah cukup lah.” atauuu “Jangan ngeluh terus, bersyukur. Orang lain belum tentu bisa menikmati ini.” Setelah dapat kata-kata itu, kita bukannya ngerasa bersyukur tapi malah jadi jengkel. Bener apa bener hayooo? Kita akan berkenalan dengan salah satu konsep di Psikologi Positif mengenai Gratitude atau Rasa Syukur atau Bersyukur.

Tokoh yang memperkenalkan konsep Gratitude adalah Robert A. Emmons. Menurut beliau, Gratitude itu adalah merupakan sebuah emosi yang muncul bukan karena diberikan sesuatu oleh pihak lain, melainkan memberikan efek dan berdampak terhadap kesejahteraan hidup seseorang.  Sedangkan menurut APA, gratitude adalah perasaan senang akibat mendapatkan hadiah yang menguntungkan atau hadiah yang nyata.

Jika kita lihat dari dua definisi diatas, gratitude itu muncul akibat kita menerima sesuatu yang bisa membuat kita bahagia. Misalnya, kita mendapatkan hadiah dari orang tua karena nilai ujiannya bagus. Tapi, ternyata gratitude tidak hanya melulu soal mendapatkan hadiah. Mendapatkan hal yang kita anggap sebagai masalah juga bisa jadi sarana untuk melatih kemampuan gratitude kita lho. Gak percaya? Kita bahas yuk!

Jika kita dihadapkan dengan kejadian yang membuat kita pusing, kesal, marah dan bingung. Misalnya, kita punya teman sekelompok yang tidak bisa kerjasama dalam kelompok. Sehingga, tugas kelompok yang tadinya bisa dikerjakan bersama-sama, hanya dikerjakan oleh beberapa orang saja. Kita mengganggap teman kita ini, menyebalkan, tidak bisa diandalkan dan juga tidak benar kerjanya. Teman sekelompok yang tidak bisa bekerja dalam kelompok, kita sebut sebagai stressor. Akibatnya kita mulai merasa stress, karena dia kerjanya kalau ditanya selalu menjawab bebas atau bahkan tidak menjawab sama sekali.

Kejadian diatas, sudah pasti tidak bisa dibilang ajang untuk melatih rasa syukur dong? Belum tentu lho. Untuk bisa mengatasi masalah itu, pertama-tama kita harus tenang. Coba mulai berpikir, “Kira-kira, hal apa yang harus saya ubah supaya dia mau bekerja dalam kelompok?” Kemudian, kita melakukan reframing gratitude, “Hal apa yang harus saya pelajari dari masalah ini? Apakah saya kurang tegas? Kurang jelas dalam memberikan tugas? Atau tugasnya terlalu sulit untuk dia?”

Jika saya kurang tegas, maka saya perlu belajar tegas. Jika saya kurang jelas dalam memberikan tugas, maka saya perlu mencoba memberikan tugas selengkap mungkin. Jika tugasnya terlalu sulit untuk dikerjakan, maka saya perlu memberikan tugas yang sesuai dengan kapasitasnya.

Jadi, dengan berhenti sejenak dengan tenang. Sebenarnya kita mendapatkan sesuatu lho. Kita jadi belajar, bahwa kemampuan setiap individu itu berbeda. Mengenal teman sekelompok itu penting. Secara tidak langsung, kita melatih diri untuk menjadi orang yang peka terhadap kemampuan orang lain. Meanwhile, kelompok lain tidak dapat “masalah” itu jadi tidak mendapatkan pembelajaran dari masalah yang kita hadapi dan coba selesaikan kan?

Mengeluh itu boleh, karena manusiawi kok. Tapi, kalau sedikit-sedikit mengeluh dan tidak ada hal yang bisa kita pelajari, sayang bangett. Setiap hari itu adalah lembaran baru, hari baru. Gak mungkin kan gak ada hal baru untuk dipelajari?