Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan kecerdasan buatan (AI) mengalami kemajuan yang luar biasa. Dimulai sebagai alat untuk mempermudah pencarian informasi, AI kini telah merambah berbagai sektor kehidupan, termasuk kesehatan mental. Dengan kemampuan untuk memproses dan merespons informasi secara cepat dan tepat, AI memungkinkan kita untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan atau masalah hanya dengan mengetikkan kata kunci. Perkembangan ini tidak hanya memengaruhi pendidikan, tetapi juga membuka peluang baru dalam layanan kesehatan perilaku, menawarkan solusi yang lebih cepat dan mudah diakses.

Salah satu inovasi paling signifikan adalah penggunaan chatbot terapeutik, seperti Woebot, yang telah disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) pada tahun 2021 untuk mengobati depresi pasca persalinan. Dengan menggunakan teknik Terapi Perilaku Kognitif (CBT), Woebot mampu membangun hubungan empatik dengan pengguna dan memberikan terapi secara virtual. Teknologi serupa, seperti penggunaan avatar manusia virtual yang terhubung dengan AI generatif, semakin memperkaya layanan interaktif kesehatan mental, memungkinkan percakapan waktu nyata dan akses ke pengetahuan yang lebih luas. Teknologi ini memberikan akses layanan kesehatan mental yang lebih mudah dan terjangkau, bahkan untuk mereka yang sebelumnya tidak dapat mengakses perawatan.

Namun, seiring dengan potensi besar yang ditawarkan AI, ada juga risiko yang perlu diperhatikan. Meskipun AI dapat memberikan respons yang empatik dan menenangkan, teknologi ini belum dapat sepenuhnya diandalkan khususnya dalam pemanfaatannya dalam layanan kesehatan mental. Layanan kesehatan mental yang berbasis AI tidak dapat menggantikan peran profesional manusia yang memiliki keterampilan kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan untuk merespons masalah kompleks yang dihadapi individu. Keterampilan ini tidak hanya memerlukan pemahaman teoritis, tetapi juga pengalaman praktis yang diperoleh melalui pelatihan dan interaksi langsung dengan klien.

Sebagai contoh, AI dalam bentuk chatbot atau konselor virtual mungkin mampu memberikan dukungan emosional jangka pendek, tetapi dalam banyak kasus, penanganan masalah psikologis yang lebih mendalam memerlukan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah yang hanya dapat diperoleh oleh profesional terlatih. Masalah seperti trauma, kecemasan berat, atau depresi kronis memerlukan pendekatan yang holistik dan disesuaikan, yang sulit untuk dicapai oleh sistem AI, meskipun teknologi ini terus berkembang.

Selain itu, penggunaan AI dalam layanan kesehatan mental juga menimbulkan pertanyaan etis dan regulasi. Apakah kita siap untuk mengandalkan teknologi untuk menangani masalah psikologis yang sangat pribadi dan kompleks? Dapatkah kita memastikan bahwa AI tidak hanya mempermudah akses, tetapi juga memberikan layanan yang aman, efektif, dan menghormati martabat klien? Tanpa pengawasan yang tepat, ada potensi AI untuk menyederhanakan atau bahkan mengabaikan kebutuhan emosional yang lebih dalam dari individu yang membutuhkan perawatan.

Meskipun demikian, peluang yang ditawarkan oleh AI dalam meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental sangat besar, terutama untuk mereka yang tinggal di daerah terpencil atau mereka yang kesulitan mengakses terapi tradisional. Oleh karena itu, kita harus mengimbangi perkembangan teknologi ini dengan kesadaran akan keterbatasannya dan selalu menempatkan kebutuhan manusia, martabat, dan kemanusiaan sebagai prioritas utama. AI bisa memperkuat peran psikolog, bukan menggantikannya, dengan membantu profesional dalam menganalisis data, memfasilitasi akses, dan menyediakan dukungan tambahan. Namun, pengawasan yang hati-hati dan pertimbangan etis sangat diperlukan untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan bijaksana.

Secara keseluruhan, meskipun AI dapat memberikan manfaat besar dalam layanan kesehatan perilaku, kita harus tetap waspada terhadap potensi risikonya. Teknologi ini tidak boleh dipandang sebagai pengganti profesional, tetapi lebih sebagai alat yang dapat memperkuat dan melengkapi pekerjaan mereka. Dengan pendekatan yang hati-hati, pengawasan yang tepat, dan penggunaan yang bijaksana, AI dapat menjadi sekutu berharga dalam menyediakan perawatan kesehatan mental yang lebih mudah diakses, efisien, dan efektif di masa depan.

 

Referensi
Anbar, R. D. (2022). Could Artificial Intelligence Replace Therapists? https://www.psychologytoday.com/us/blog/understanding-hypnosis/202207/could-artificial-intelligence-replace-therapists

Rocky. (2023, Maret 1). Apakah Psikolog Dapat Digantikan Oleh Artificial Intelligence? Arsip Artikel, Vol. 9 No. 05. Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. ISSN 2477-1686. https://www.buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1241-apakah-psikolog-dapat-digantikan-oleh-artificial-intelligence