Di tengah meningkatnya fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai daerah Indonesia, urgensi penerapan prinsip keberlanjutan dalam dunia bisnis menjadi semakin nyata. Kebakaran lahan gambut yang menyebabkan kabut lintas batas dan mengancam kesehatan masyarakat di Sumatra dan Kalimantan, pencemaran air di kawasan industri akibat limbah kimia yang tidak terolah, serta eksploitasi tambang nikel di kawasan sensitif seperti Raja Ampat yang mengancam ekosistem laut dan keanekaragaman hayati, merupakan cermin dari lemahnya integrasi antara aktivitas ekonomi dan pengelolaan lingkungan. Kondisi ini menunjukkan bahwa dunia bisnis saat ini tidak dapat lagi beroperasi semata-mata demi keuntungan finansial, melainkan harus memikul tanggung jawab terhadap dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan dari setiap keputusan ekonominya.

Dalam konteks tersebut, Akuntansi Manajemen Lingkungan (Environmental Management Accounting/EMA) hadir sebagai pendekatan strategis yang menghubungkan kinerja ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan. EMA tidak hanya berfokus pada pelaporan eksternal, tetapi juga pada proses internal dalam mengidentifikasi, mengukur, dan mengomunikasikan informasi lingkungan yang relevan bagi pengambilan keputusan manajerial. Dengan kata lain, EMA memperluas cakupan akuntansi tradisional dengan menambahkan dimensi lingkungan dan sosial ke dalam sistem informasi perusahaan.

EMA memiliki dua komponen utama yang saling melengkapi, yaitu Physical Environmental Management Accounting (PEMA) dan Monetary Environmental Management Accounting (MEMA).

  • PEMA berperan dalam mengukur aliran fisik sumber daya alam — seperti penggunaan energi listrik, konsumsi air, volume bahan baku, emisi gas rumah kaca, hingga jumlah limbah padat dan cair yang dihasilkan — dalam satuan fisik (kg, liter, kWh, atau ton CO₂). Melalui PEMA, perusahaan dapat mengidentifikasi titik-titik inefisiensi produksi, misalnya pada proses yang menghasilkan limbah berlebih atau penggunaan energi yang tidak efisien. Data fisik ini menjadi dasar penting bagi upaya peningkatan efisiensi dan pengendalian dampak lingkungan secara langsung.
  • MEMA, di sisi lain, menerjemahkan informasi fisik tersebut ke dalam satuan moneter, sehingga manajemen dapat memahami nilai ekonomi dari aktivitas lingkungan yang dilakukan. Misalnya, biaya pengolahan limbah, biaya energi yang boros, denda akibat pelanggaran regulasi lingkungan, atau potensi kehilangan nilai aset akibat degradasi lingkungan. Dengan MEMA, perusahaan dapat menghitung biaya lingkungan tersembunyi (hidden environmental costs) yang sering kali tidak tercermin dalam laporan keuangan konvensional.

Kombinasi antara PEMA dan MEMA menghasilkan informasi manajerial yang komprehensif, yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi operasional, menentukan strategi investasi hijau, serta menyusun kebijakan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Misalnya, dalam kasus perusahaan tambang di Raja Ampat, data PEMA dapat menunjukkan volume tanah dan air laut yang terkontaminasi akibat kegiatan eksploitasi, sementara data MEMA dapat menghitung nilai ekonomi dari kerusakan terumbu karang dan kehilangan potensi pariwisata laut. Hasil pengukuran tersebut dapat menjadi dasar bagi manajemen untuk menimbang biaya ekonomi jangka pendek dengan risiko ekologis jangka panjang, sekaligus mendukung transparansi dalam pelaporan kepada publik.

Peran akuntan dalam konteks ini menjadi semakin penting dan strategis. Akuntan tidak lagi hanya berperan sebagai penyusun laporan keuangan, tetapi juga sebagai penyedia informasi keberlanjutan (sustainability information provider) yang mampu menilai kinerja lingkungan secara terukur. Akuntan yang memahami prinsip PEMA dan MEMA berperan dalam mengintegrasikan data lingkungan ke dalam sistem akuntansi biaya, merancang indikator kinerja hijau (green performance indicators), serta membantu manajemen dalam melakukan analisis biaya-manfaat atas kebijakan keberlanjutan.

Selain itu, akuntan juga berfungsi sebagai agen perubahan (change agent) di dalam organisasi  memastikan bahwa keputusan bisnis yang diambil selaras dengan prinsip triple bottom line: profit, people, dan planet. Dengan kemampuan analitis, ketelitian, dan pemahaman terhadap regulasi, akuntan berkontribusi besar dalam mendorong perusahaan menuju praktik bisnis yang bertanggung jawab.

Dalam arti yang lebih luas, akuntansi manajemen lingkungan telah berevolusi menjadi bahasa keberlanjutan yang menghubungkan dunia bisnis dengan tanggung jawab moral terhadap bumi. Informasi yang dihasilkan dari penerapan PEMA dan MEMA tidak hanya membantu perusahaan meningkatkan efisiensi, tetapi juga menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi hijau (green economy) yang tengah digencarkan oleh pemerintah Indonesia dan dunia internasional. Dengan demikian, peran akuntansi kini tidak lagi terbatas pada pelaporan keuangan, melainkan turut menentukan arah masa depan ekonomi yang lebih adil, beretika, dan berkelanjutan.

Program Studi Akuntansi SATU University dengan bangga menempatkan diri di garis depan dalam menjawab tantangan tersebut. Melalui kurikulum yang adaptif dan relevan dengan perkembangan zaman, mahasiswa tidak hanya dibekali pemahaman tentang laporan keuangan, pajak dan audit, tetapi juga tentang akuntansi lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), dan sustainability reporting. Pembelajaran berbasis kasus nyata, seperti pengelolaan tambang berkelanjutan, pelacakan emisi karbon, hingga valuasi ekonomi jasa ekosistem  membuat lulusan Akuntansi SATU University siap menjadi profesional yang unggul dan visioner.

Menjadi akuntan di masa kini berarti menjadi agen perubahan. Dunia membutuhkan akuntan yang tidak hanya teliti dan analitis, tetapi juga memiliki kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi. Lulusan Akuntansi SATU University memiliki peluang karier yang luas: mulai dari akuntan manajemen, akuntan pajak, auditor keberlanjutan, konsultan ESG (Environmental, Social, and Governance), analis green finance, hingga praktisi akuntansi di perusahaan yang berorientasi hijau.

Dengan menguasai konsep PEMA dan MEMA, mahasiswa Akuntansi SATU University tidak hanya siap menghadapi tantangan ekonomi global, tetapi juga berperan aktif dalam melindungi bumi  rumah kita bersama. Inilah bukti nyata bahwa akuntansi bukan sekadar tentang angka, melainkan tentang membangun masa depan yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan bermakna. Maka, memilih Akuntansi SATU University berarti memilih jalur karier yang tidak hanya menjanjikan kesuksesan profesional, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan generasi mendatang.

 

Daftar Pustaka

Burritt, R. L., Christ, K. L., & Rikhardsson, P. (2022). Environmental management accounting: Reflection on progress and challenges. Journal of Cleaner Production, 363, 132–174. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.132174

Christ, K. L., & Burritt, R. L. (2019). Implementation of environmental management accounting: A 20-year review. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 32(5), 1425–1453. https://doi.org/10.1108/AAAJ-10-2017-3187

Herzig, C., Viere, T., Schaltegger, S., & Burritt, R. (2021). Environmental management accounting: Case studies of implementation. London: Routledge.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2023). Laporan Kinerja PROPER Nasional 2022/2023. Jakarta: KLHK.

Mongabay Indonesia. (2023, 12 September). Pemerintah batalkan izin tambang nikel di Raja Ampat: Langkah penting bagi konservasi laut. Diakses dari https://www.mongabay.co.id

Tropenbos Indonesia. (2024, Maret). Dampak kebakaran lahan gambut terhadap kesehatan dan ekonomi masyarakat. Laporan Penelitian Lapangan, Palangka Raya.

United Nations Division for Sustainable Development. (2020). Environmental management accounting procedures and principles. New York: United Nations Publications.

Wahyuni, D., & Effendi, B. (2024). Green Accounting dan Tantangan Implementasi di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Lestari, 5(2), 101–116.

World Bank. (2023). The changing wealth of nations: Measuring sustainable development in the 21st century. Washington, DC: World Bank Publications.