Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Fenomena terbaru di Indonesai adalah aktivitas pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya yang menjadi sorotan dan dikecam publik. Musababnya, aktivitas tambang nikel di wilayah itu terindikasi merusak alam. Ada empat perusahaan tambang nikel Raja Ampat yang diawasi pemerintah, yakni PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).

Padahal sebagai anggota PBB, Indonesia memiiki kewajiban untuk mendorong terwujudnya Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu poin dari SDG 12 adalah menciptakan pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, sehingga tidak boleh ada overeksploitasi sumber daya alam. Memastikan pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan merupakan poin penting dalam SDG 12. Agar tercipta pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, maka batas-batas biofisik dalam konsumsi sumber daya perlu diperhatikan. Sustainability produksi dan konsumsi sumber daya alam dapat terjaga apabila laju konsumsi dapat ditahan di bawah laju regenerasi.

Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan bahwa 44% daratan di Indonesia telah digunakan untuk pertambangan. Pada tahun 2020, sebanyak 700.000 hektar lahan telah rusak akibat pertambangan, bahkan 45 kasus konflik pertambangan terjadi akibat eksploitasi yang berlebihan (BBC News Indonesia, 2021). Perusahaan memiliki kewajiban untuk memulihkan kondisi lingkungan seusai dilakukannya kegiatan ekstraksi. Biaya yang dikeluarkan dalam upaya untuk memulihkan kondisi lingkungan ini disebut sebagai biaya restorasi. Penyelesaian ekstraksi merupakan peristiwa masa depan. Oleh karena itu, biaya restorasi yang akan dikeluarkan perusahaan merupakan komponen liabilitas, entah berupa provisi atau liabilitas kontinjensi, bergantung pada pemenuhan syarat-syarat pengakuan provisi. Akuntan dapat turut berperan dalam mewujudkan SDGs, melalui penetapan dan penerapan standar akuntansi yang dapat membatasi pola konsumsi industri terhadap sumber daya alam.

Sebagai badan regulator, Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) dapat menerbitkan regulasi untuk membatasi pola konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya alam tersebut, yakni dengan cara menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang sesuai, salah satunya adalah PSAK 57 yang mengatur tentang provisi, liabilitas kontinjensi, dan aset kontinjensi. Terdapat tiga kondisi yang harus terpenuhi agar provisi dapat diakui, yakni:
1 Terdapat peristiwa masa lampau yang menimbulkan kewajiban kini, baik kewajiban yang bersifat hukum atau konstruktif.
2 Dalam penyelesaian kewajiban tersebut, kemungkinan besar akan menimbulkan pengeluaran arus keluar sumber daya. Sumber daya yang dimaksudkan disini adalah kas.
3 Jumlah kewajiban tersebut harus dapat diestimasikan secara andal.

Jika salah satu saja dari kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka provisi tidak dapat diakui dan biaya restorasi harus diklasifikasikan sebagai liabilitas kontinjensi yang diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan (CaLK). PSAK 57 juga memberikan pengecualian bagi liabilitas kontinjensi yang memiliki kemungkinan kecil pengeluaran arus kas pada saat penyelesaian. Jika kemungkinannya kecil, maka liabilitas kontinjensi tersebut tidak perlu diungkapkan dalam CaLK. Bagi perusahaan, lebih menguntungkan untuk mengungkapkan liabilitas kontinjensi daripada mengakui provisi karena provisi merupakan bagian dari liabilitas dalam laporan posisi keuangan. Tingkat leverage perusahaan akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah liabilitas. Tingkat leverage yang tinggi akan menyulitkan perusahaan dalam memperoleh pinjaman dari kreditur ataupun membuat suku bunga pinjaman menjadi lebih tinggi.

Referensi:
Ikatan Akuntan Indonesia. (2014). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 57: Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi.
Kieso, D. E., Weygandt, J. J., & Warfield, T. D. (2020). Intermediate Accounting: IFRS Edition (4th Editio). John Wiley & Sons, Inc.
Maria, K. A., & Lasdi, L. (2023). PENGURANGAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MELALUI PELAPORAN AKUNTANSI BIAYA RESTORASI PSAK 57. Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan, 19(2), 143-154.
Suwardjono. (2014). Teori Akuntansi (Perekayasaan Pelaporan Keuangan). (3th editio). BPFE Yogyakarta.
United Nations. (n.d.). The 17 Goals. Retrieved April 24, 2022, from https://sdgs.un.org/goals.
Wahyuni, E. T., Soepriyanto, G., Avianti, I., & Naulibasa, W. P. (2019). Why companies choose the cost model over fair value for investment property? Exploratory study on indonesian listed companies. International Journal of Business and Society, 20(1), 161–176.