Cryptocurrency sekarang udah jadi bahan obrolan di mana-mana. Dari nongkrong di kafe sampai diskusi kelas, nama-nama kayak Bitcoin, Ethereum, dan Solana udah nggak asing lagi. Tapi pernah kepikiran gak, gimana caranya perusahaan atau akuntan nyatet crypto ini di laporan keuangan?

Nah, buat kamu yang penasaran (apalagi anak akuntansi), yuk kita bahas: gimana sih cara akuntan nge-handle aset digital kayak Bitcoin?

1. Crypto Itu Uang atau Bukan?
Pertanyaan pertama yang harus dijawab: apakah crypto itu dianggap uang (cash) dalam akuntansi?
Jawabannya: bukan.
Meskipun bisa dipakai buat transaksi, crypto nggak diakui sebagai uang resmi oleh pemerintah dan nggak punya jaminan kayak mata uang fiat. Jadi, dari sisi akuntansi, dia nggak bisa langsung dicatet sebagai kas.

2. Trus, Dicatatnya Gimana?
Mayoritas standar akuntansi internasional (kayak IFRS) mengklasifikasikan cryptocurrency sebagai aset tidak berwujud. Artinya, dia dicatet mirip kayak merek dagang, hak paten, atau software.

Tapi ada catatan penting nih: Kalau crypto diperdagangkan secara aktif dan sering, bisa juga dianggap persediaan (inventory), terutama buat perusahaan yang bisnisnya memang jual-beli crypto.
Belum ada standar yang spesifik banget. Jadi, banyak perusahaan yang masih ngikutin interpretasi sendiri dengan dasar dari IAS 38 (Intangible Assets).

3. Masalah Valuasi: Harganya Naik Turun Gila!
Crypto terkenal banget karena harganya volatile alias naik turunnya nggak kira-kira.
Nah, ini bikin pusing akuntan. Kenapa? Karena mereka harus milih: mau pakai biaya perolehan (historical cost) atau nilai wajar (fair value)?

Kebanyakan perusahaan: Nyatet di awal pakai harga beli. Tapi kalau nilainya turun, harus di-write down (pengurangan nilai). Dan kalau naik? Nah ini tricky, karena kenaikan nilai belum tentu bisa diakui sebagai keuntungan kalau belum dijual.

4. Bagaimana Auditor Ngecek Crypto?
Karena data transaksi crypto ada di blockchain, auditor harus lebih jago teknologi. Mereka perlu:

Verifikasi alamat dompet digital (wallet address).

Cocokin transaksi blockchain sama catatan internal perusahaan.

Pakai tools khusus buat audit trail yang aman.

Jadi jangan kira auditor cuma pegang kalkulator dan Excel — sekarang mereka bisa aja sambil buka block explorer!

5. Risiko dan Transparansi: Nggak Boleh Dianggap Remeh
Perusahaan yang pegang crypto wajib banget ngungkapin risiko di laporan keuangannya. Misalnya:

Risiko kehilangan private key.

Risiko regulasi (karena di banyak negara hukum crypto masih abu-abu).

Risiko penurunan nilai yang tajam.

Kesimpulan:
Crypto bikin dunia akuntansi lebih seru dan lebih rumit.
Akuntan dan auditor dituntut buat melek digital, paham blockchain, dan siap adaptasi sama perubahan teknologi finansial. Jadi buat kamu yang mau jadi akuntan zaman now, siap-siap belajar bukan cuma soal debit-kredit, tapi juga soal dompet digital dan kode kriptografi!


Referensi:

1. Deloitte. (2021). Accounting for cryptocurrencies. Retrieved from https://www2.deloitte.com
2. Ernst & Young (EY). (2022). Cryptocurrency and accounting: Navigating the challenges. Retrieved from https://www.ey.com
3. International Financial Reporting Standards (IFRS). (2019). IAS 38 Intangible Assets. Retrieved from https://www.ifrs.org
4. PricewaterhouseCoopers (PwC). (2020). Making sense of crypto: How to account for digital assets. Retrieved from https://www.pwc.com
5. KPMG. (2021). Cryptoassets: Accounting and tax. Retrieved from https://home.kpmg
6. Nakamoto, S. (2008). Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System. Retrieved from https://bitcoin.org/bitcoin.pdf
7. Yermack, D. (2017). Corporate governance and blockchains. Review of Finance, 21(1), 7–31. https://doi.org/10.1093/rof/rfw074
8. IFRS Interpretations Committee. (2019). Holding of cryptocurrencies—Agenda Decision. Retrieved from https://www.ifrs.org