Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang dimulai pada 2018 kembali memanas pada 2025 dengan kebijakan tarif ekstrem dari pemerintahan Presiden Donald Trump. Dengan tarif impor mencapai 145% terhadap produk Tiongkok, konflik ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi mencerminkan persaingan strategis dua kekuatan global. Imbasnya terasa luas, terutama bagi negara mitra dagang seperti Indonesia, yang terdampak langsung dari sisi perdagangan, geopolitik, investasi, dan stabilitas kawasan.

Bagi Indonesia, perang dagang telah mengganggu rantai pasok global, menurunkan harga komoditas seperti batu bara, dan menekan kinerja ekspor. Penurunan permintaan dari kedua negara besar itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional, sementara ketegangan militer di Laut China Selatan mendorong Indonesia memperkuat pertahanan maritim di wilayah strategis seperti Natuna. Sektor teknologi juga menghadapi dilema: di satu sisi ada peluang sebagai alternatif relokasi industri, namun di sisi lain muncul risiko infiltrasi teknologi dan ancaman siber.

Salah satu dampak langsung yang dirasakan dalam dunia akuntansi adalah fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ketidakstabilan ini memengaruhi pencatatan transaksi dalam mata uang asing, terutama bagi perusahaan yang bergantung pada impor bahan baku dari Tiongkok atau ekspor ke pasar AS. Dalam pelaporan keuangan, hal ini menuntut perusahaan untuk melakukan translasi mata uang asing secara hati-hati, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap laba/rugi kurs dan posisi keuangan pada akhir periode.

Selain itu, perang dagang menyebabkan penurunan harga komoditas global, termasuk batu bara dan minyak sawit, yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Dalam akuntansi, penurunan harga komoditas ini berpotensi menurunkan nilai persediaan dan mengakibatkan pengakuan kerugian penurunan nilai (impairment) terhadap aset-aset terkait, seperti properti, pabrik, dan peralatan. Perusahaan harus menyesuaikan estimasi akuntansi mereka, termasuk dalam menghitung cadangan kerugian piutang dan nilai kini dari arus kas masa depan.

Di sisi lain, ketidakpastian ekonomi mendorong perusahaan untuk meninjau kembali strategi investasi dan struktur pembiayaannya. Dari perspektif akuntansi manajemen, ini berdampak pada penyusunan anggaran, analisis biaya-manfaat, serta penilaian kelayakan proyek. Misalnya, perusahaan yang merencanakan relokasi produksi akibat lonjakan tarif harus menyusun laporan proyeksi dan analisis sensitivitas secara cermat.

Referensi:
Why Trump Will Blink First on China | TIME
China tells Trump: If you want trade talks, cancel tariffs
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemhan RI
Perang Dagang China vs AS Makin Panas, Seberapa Buruk Dampak ke RI?