Pada tahun 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia berencana untuk menerapkan sistem terbuka yang lebih terintegrasi dalam pengelolaan data perpajakan. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan akurasi dalam pengumpulan dan pengolahan data pajak. Namun, penerapan sistem terbuka ini tidak hanya membawa manfaat, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait dengan perlindungan data pribadi wajib pajak.

Apa itu Sistem Terbuka pada DJP?
Sistem terbuka pada DJP merujuk pada integrasi dan aksesibilitas data pajak yang lebih luas bagi berbagai pihak terkait. Dalam konteks ini, data pajak yang dimiliki oleh DJP akan lebih mudah diakses oleh lembaga atau instansi yang berwenang, serta memungkinkan pertukaran data antar lembaga pemerintah. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan proses administrasi pajak, meningkatkan pemantauan kepatuhan pajak, dan mencegah potensi kebocoran pendapatan negara akibat penghindaran pajak.

Sistem terbuka ini juga melibatkan penggunaan teknologi digital, seperti sistem informasi berbasis cloud, untuk mengelola data pajak dengan lebih efektif. Dengan cara ini, wajib pajak dapat mengakses dan melaporkan kewajiban perpajakannya secara online, mempermudah proses pelaporan, serta mempercepat proses verifikasi dan validasi data.

Dampak Terhadap Data Pribadi Wajib Pajak
Meskipun penerapan sistem terbuka ini diharapkan membawa banyak keuntungan dalam hal efisiensi dan transparansi, ada beberapa dampak yang perlu diperhatikan, terutama terkait dengan data pribadi wajib pajak.
1. Peningkatan Risiko Keamanan Data
Dengan data pribadi wajib pajak yang lebih terbuka dan mudah diakses oleh berbagai instansi, risiko kebocoran data menjadi lebih tinggi. Keamanan sistem informasi yang digunakan oleh DJP harus benar-benar dijaga agar data pribadi tidak jatuh ke tangan yang salah. Kebocoran data ini dapat menimbulkan berbagai risiko, mulai dari pencurian identitas hingga penyalahgunaan informasi pribadi.
2. Perlindungan Privasi Wajib Pajak
Salah satu tantangan terbesar dari penerapan sistem terbuka adalah menjaga privasi wajib pajak. Meskipun data pajak itu sendiri bukan termasuk data yang sangat pribadi, namun informasi yang terkandung di dalamnya—seperti penghasilan, aset, dan transaksi keuangan—merupakan data yang sangat sensitif. Oleh karena itu, peraturan yang ketat mengenai siapa yang berhak mengakses data dan bagaimana data tersebut digunakan sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan.
3. Peningkatan Pengawasan dan Kepatuhan Pajak
Sistem terbuka memungkinkan pertukaran informasi yang lebih cepat dan akurat antar lembaga. Hal ini dapat meningkatkan pengawasan terhadap wajib pajak dan memastikan bahwa mereka membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, ini juga berarti bahwa data pribadi wajib pajak lebih terpapar dalam sistem pemerintahan, yang bisa meningkatkan tingkat pengawasan secara keseluruhan.
4. Potensi Ketidaknyamanan bagi Wajib Pajak
Wajib pajak mungkin merasa kurang nyaman dengan tingkat keterbukaan data yang lebih tinggi, terutama bagi mereka yang lebih memilih privasi dalam hal pengelolaan keuangan mereka. Ketidaknyamanan ini bisa menjadi hambatan bagi mereka yang enggan melaporkan data pajak secara terbuka, meskipun mereka memiliki kewajiban perpajakan.

Upaya untuk Melindungi Data Pribadi
Untuk mengatasi dampak negatif dari penerapan sistem terbuka ini, DJP dan lembaga pemerintah terkait perlu menerapkan langkah-langkah perlindungan data yang ketat, seperti:
1. Peningkatan Keamanan Sistem Digital
Menggunakan sistem keamanan tingkat tinggi, seperti enkripsi dan firewall, untuk melindungi data dari potensi kebocoran. Selain itu, audit dan pemantauan sistem secara berkala harus dilakukan untuk mendeteksi adanya celah atau potensi ancaman.
2. Pendidikan dan Sosialisasi kepada Wajib Pajak
Wajib pajak harus diberi pemahaman yang jelas mengenai bagaimana data mereka akan digunakan dan dilindungi. Ini dapat dilakukan melalui kampanye sosial atau melalui platform digital DJP yang memberikan informasi lengkap tentang perlindungan data pribadi.
3. Penegakan Regulasi Perlindungan Data Pribadi
Pemerintah perlu menegakkan regulasi yang ketat mengenai perlindungan data pribadi, termasuk kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari wajib pajak sebelum data mereka digunakan atau dibagikan kepada pihak ketiga.
4. Transparansi dalam Penggunaan Data
Setiap pihak yang mengakses data wajib pajak harus dapat memastikan bahwa mereka hanya menggunakan data untuk keperluan yang sah dan terukur. DJP perlu memastikan ada sistem yang jelas untuk mengawasi penggunaan data pribadi.

Referensi:
Direktorat Jenderal Pajak. (2023). Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak 2023. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.
Mulyani, M. (2021). Transformasi administrasi perpajakan di era digital: Tantangan dan solusi untuk keamanan data pribadi. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 12(1), 89-103.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. (2019). Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Perlindungan Data Pribadi. (2019). Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Sistem Informasi Pajak. (2020). Direktorat Jenderal Pajak.
Sihombing, M. (2022). Analisis dampak kebijakan pajak digital terhadap perlindungan data pribadi wajib pajak di Indonesia. Jurnal Hukum dan Teknologi, 15(2), 125-145.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (2008). Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. (2008). Sekretariat Negara Republik Indonesia.
World Bank. (2020). Digital transformation in tax administration: Opportunities and risks. World Bank Group.